2.1. Antropologi Dan Pendidikan
Secara umum, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Sedangkan Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami
dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan
konsep-konsep dan pendekatan Antropologi. (Nasution, 2004).
Sebagai
cabang ilmu termuda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya, Antropologi telah
melampaui ilmu sosial lainnya dalam rentangan subjek matter dan metodologi.
Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan sebagai satu
keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun sekarang,
sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman kebudayaan
umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural conditional)
terhadap perilaku dan kepribadian manusia. (Nasution, 2004).
Antropologi
pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi budaya atau pewarisan
pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi. Selain itu, proses
belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan pemahaman dari
Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan formal dan
pendidikan informal. (Nasution, 2004).
Penulis berpendapat bahwa, penyampaian kebudayaan
melalui lembaga informal dapat dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di
dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks,
terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar
dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
G.D. Spindler
berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap
pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah
diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang
berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. (Hasojo, 1984).
Penulis mengatakan bahwa, dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan
maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik dan sukar
untuk dibandingkan. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan
memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Semakin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin
banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat
kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam
mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam
hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya
sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan
bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi
kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri
pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar
kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan. (Hasojo,
1984).
2.2.
Manfaat Antropologi Dalam Pendidikan
Penulis mengatakan, setiap manusia memiliki perbedaan, oleh karena itu
seorang pendidik harus sedikit banyak memahami latar belakang
siswa, yakni keluarga, budaya, lingkungan siswa. Oleh karena
itu, antropologi dibutuhkan sebagai landasan dalam pendidikan.
Antropologi
dalam pendidikan memiliki beberapa manfaat diantaranya
:
1. Dapat mengetahui pola perilaku manusia
dalam kehidupan bermasyarakat secara universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap
masyarakat (suku bangsa).
2. Dapat mengetahui kedudukan serta
peran yang harus kita lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari
kedudukan yang kita sandang.
3. Dengan mempelajari antropologi akan memperluas wawasan
kita terhadap tata pergaulan umat manusia diseluruh dunia, khususnya Indonesia yang
mempunyai kekhususan-kekhususan yang sesuai
dengan karakteristik daerahnya, sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi.
4. Dapat mengetahui berbagai macam
problema dalam masyarakat serta memiliki kepekaan terhadap kondisi-kondisi
dalam masyarakat, baik yang menyenangkan serta mampu mengambil inisiatif
terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya.
(Koentjaraningrat, 1990).
2.3.
Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Pendidikan
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin ilmu, kini
banyak dikembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada
suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu
persoalan pembangunan di negara berkembang adalah karena masalah budaya
belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik,
khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini
dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang
berakibat terhadap rentannya ketahanan sosial budaya masyarakat dalam
menghadapi krisis kehidupan. (Hasojo, 1984).
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada
perubahan sosial budaya dikategorikan menjadi empat orientasi, yaitu :
1. Orientasi
teoritik yang fokus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini
merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
2. Orientasi
teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang
menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan
tekno-ekonomi yang menjadi andalannya.
3. Orientasi
teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori
datang dari rumpun teori struktural.
4. Orientasi
teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala
interdependensi antar Negara, dimana teori multikultural termasuk didalamnya.
(Hasojo, 1984).
Penulis berpendapat bahwa, orientasi pengembangan
budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang menghubungkan pola budaya
belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal.
Van Kemenade (1969) telah mengingatkan, “persoalan pendidikan jangan
hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi
masalah kebijakan sosial, sehingga pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan
bersama. Untuk itu perlu analisa empiris tentang tugas pendidikan dalam
konteks kehidupan masyarakat”. (Koentjaraningrat, 1990).
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan, maka
antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan
secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang
dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada
perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan
oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi
pendidikan.
Penulis berpandangan bahwa, ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang
efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang
didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya
mengeksploitasi nilai kebudayaan, namun menatanya dan menghubungkannya dengan
pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat
dilihat dari dua kategori, yaitu : Pertama, pendekatan teori antropologi
pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan
sosial budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.
(Koentjaraningrat, 1990).
Sedangkan pendekatan antropologi dalam pendidikan
saat ini adalah sebagai berikut : (Nasution, 2004).
1. Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan 2006 sesuai dengan kebutuhan siswa.
2. Model pembelajaran berbasis
budaya lokal.
Model pembelajaran ini diterapkan melalui muatan
lokal. Materi disesuaikan dengan potensi lokal masing-masing daerah di
lingkungan sekolah. Sehingga siswa dapat mengenali potensi budayanya sendiri,
mengembangkan budaya, menumbuhkan cinta tanah air, dan mempromosikan budaya
lokal kepada daerah lain.
3. Metode pembelajaran karya
wisata.
Guru
mengajak siswa ke suatu tempat ( objek ) tertentu untuk mempelajari sesuatu
dalam rangka suatu pelajaran di sekolah. Metode karyawisata berguna bagi siswa
untuk membantu mereka memahami kehidupan nyata dalam lingkungan beserta segala masalahnya. Misalnya,
siswa diajak ke museum, kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau ke suatu
tempat yang mengandung nilai sejarah atau kebudayaan tertentu. (Nasution,
2004).
4. Pendidikan kecakapan hidup yang
diintegrasikan pada mata pelajaran.
Pengembangan kecakapan hidup terdiri dari: kecakapan
personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional
(keterampilan untuk bekerja). (Nasution, 2004).
Adapun contoh pengintegrasian pendidikan kecakapan
hidup dalam mata pelajaran, adalah sebagai berikut :
1.) Pendidikan Agama, tujuannya : membentuk siswa
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.) IPS, tujuannya : mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat.
3.) SBK, tujuannya : membentuk karakter peserta
didik agar memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
4.) Muatan Lokal, tujuannya : membentuk pemahaman
terhadap potensi sesuai dengan ciri khas di daerah tempat tinggalnya.
5.) Pengembangan diri, tujuannya : memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai
dengan kebutuhan, minat, dan bakat.
5. Pembelajaran dengan Modelling
Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model
(guru) sebagai obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian ditiru oleh
siswa. Modelling bertujuan
untuk mengembangkan keterampilan fisik dan mental siswa.
(Nasution, 2004).
2.4.
Implikasi Antropologi Dalam Pendidikan
Penulis mengungkapkan dari berbagai sumber,
Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang dirangkai oleh selat, dan keadaan
geogafisnya tidak merata. Faktor geografis suatu daerah sangat berpengaruh pada
jaringan komunikasi dan transportasi antar daerah maupun pulau. Khususnya di
daerah yang dikelilingi hutan belantara dan pegunungan yang tinggi, yang akan
menghambat proses informasi, sehingga akan berpengaruh pada pengetahuan
penduduk di sekitar.
Selain faktor geografisnya, di masing-masing daerah
memiliki berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, sistem nilai, budaya yang
berbeda. Misalnya : Suku Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Minang, Batak dan
sebagainya. Sedangkan dari ras polynesia yang mendiami Indonesia bagian timur,
misalnya : Ambon, Timor, Irian Jaya. Keragaman budaya tersebut telah memberikan
pengaruh terhadap hubungan sosial masyarakat, sistem pendidikan, mata
pencaharian, dan pola berfikir manusia.
Dengan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan
secara alamiah, dari dulu telah berlangsung upaya pendidikan sebagai proses
transmisi dan transformasi kebudayaan. Untuk itu, pendidikan di masing-masing
daerah berbeda dan disesuaikan dengan budaya daerah tersebut. Proses pendidikan
bangsa telah ada sebelum kedatangan penjajah dan memiliki antropologis yang
kuat.
Kurikulum yang sudah diterapkan pada masing-masing
daerah berdampak pada perkembangan
pengetahuan yang berbeda dan mempengaruhi kemajuan masyarakat. Hal ini tentunya
berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan daerah
pedesaan. Masyarakat perkotaan, memberikan pendidikan anaknya mulai tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Program pendidikan di sekolah terdiri dari :
sekolah reguler, home
schooling, akselerasi, dan sekolah berstandar internasional (RSBI).
(Nasution, 2004).
Selain itu, di kota merupakan pusat pemerintahan dan
perdagangan, sehingga memungkinkan perkembangan pendidikan mudah dijangkau dan
cepat. Berbeda dengan daerah pedesaan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
merupakan permasalahan. Hal ini dikarenakan tingkat ekonomi penduduk yang masih
minim, kesadaran orang tua akan pendidikan masih kurang, akses lembaga
pendidikan terbatas, dan angka migrasi tinggi. Hal ini menyebabkan angka anak drop out dari keluarga kurang mampu tersebut
tinggi. (Nasution, 2004).
Melihat permasalahan tersebut, maka peranan
pendidikan sangat penting khususnya penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan
yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik. Hal ini bertujuan
untuk mewujudkan pendidikan nasional dan tercapainya tujuan pembelajaran. Salah
satu kurikulum berbasis budaya lokal telah memberikan sumbangan untuk lebih
mengenal potensi budaya di masing-masing daerah, sehingga peserta didik dapat
mengenal potensi budayanya sendiri, dapat mengembangkan potensi budaya, serta
dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya (berwirausaha). (Nasution, 2004).
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam
implikasi antropologi, adalah sebagai berikut : (Koentjaraningrat, 1990).
1. Identifikasi kebutuhan
belajar masyarakat
Identifikasi kebutuhan masayarakat ini bersumber
dari informasi masyarakat sekitar. Masyarakat tersebut terdiri dari tokoh
masyarakat, baik secara formal maupun informal, tokoh agama, dan perwakilan
masyarakat kelas bawah. Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan data
yang dijadikan bahan pengembangan kurikulum.
2. Keterlibatan partisipasi
masyarakat
Setelah mengidentifikasi kebutuhan belajar, maka
masyarakat ikut serta dalam merancang kurikulum, menyediakan sarana dan
prasarana, menentukan narasumber sebagai fasilitator, dan ikut menilai hasil
belajar.
3. Pemberian pendidikan
kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup merupakan pendidikan
dalam bentuk pemberian keterampilan dan kemampuan dasar pendukung fungsional,
membaca, menulis, berhitung, memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja
dalam kelompok, dan menggunakan teknologi. (Koentjaraningrat, 1990).
2.5.
Pengaruh Antropologi Terhadap
Lingkungan Dan Masyarakat
Studi
antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di
negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan
kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. (Koentjaraningrat,
1990).
Perbedaan
geografis mencakup perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor geografis
seperti letak daerah, misalnya : pantai, daerah pegunungan, daerah tropis, daerah sub
tropis, daerah subur, daerah tandus, dan sebagainya.
(Nasution, 2004).
Sebagai contoh,
pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan berbeda dengan
daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia kurang
atau tidak dapat
bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga keadaan ini memaksa
manusia daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan makanan untuk musim
dingin. Demikian pula masyarakat di daerah gersang akan terpaksa bekerja lebih
keras untuk mempertahankan hidupnya dibandingkan dengan daerah subur.
(Nasution, 2004).
Perbedaan-perbedaan
tersebut melahirkan pula perbedaan kebudayaan, baik dalam wujud ide-ide, pola,
tingkah laku maupun kebudayaan. Di daerah subur seperti di Indonesia, dimana
manusia tidak perlu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dimana
sumber-sumber alam relatif mudah diambil, membuat manusia juga bermurah hati
terhadap sesamanya, sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang mengalami
kekurangan, orang laain dapat dengan mudahnya membantu orang yang menderita
tersebut. Karena itu terutama di pedesaan, dimana kebutuhan hidup dari alam
sekitar relatif lebih
mudah didapatkan, perasaan gotong-royong antar warga masyarakat sangat tinggi. Sebaliknya
di daerah perkotaan dimana manusia harus berusaha lebih keras untuk
mempertahankan hidupnya, maka perasaan gotong-royong itu makin menipis, dan
perasaan individualitasnya lebih tinggi. (Nasution, 2004).
Penulis berpendapat, hal-hal tersebut diatas juga dapat
mempengaruhi sistem nilai
budaya yang dianut oleh warga masyarakat, yang dengan sendirinya akan
berpengaruh terhadap proses pendidikan yang berlangsung di masyarakat yang
bersangkutan,
karena proses pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan
geografis dan sosiokultural masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hasojo.
(1984). Pengantar Antropologi.
Bandung : Bina Cipta.
Koentjaraningrat.
(1990). Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : Rineka Cipta.
Nasution.
(2004). Antropologi Pendidikan.
Jakarta : Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar