Rabu, 14 Januari 2015

Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Pendidikan

2.1. Antropologi Dan Pendidikan
Secara umum, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Sedangkan Antropologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis berdasarkan konsep-konsep dan pendekatan Antropologi. (Nasution, 2004).
Sebagai cabang ilmu termuda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya, Antropologi telah melampaui ilmu sosial lainnya dalam rentangan subjek matter dan metodologi. Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun sekarang, sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia. (Nasution, 2004).
Antropologi pendidikan mencoba mengungkapkan proses-proses transmisi budaya atau pewarisan pengetahuan melalui proses enkulturasi dan sosialisasi. Selain itu, proses belajar individu sebagai kegiatan sosial budaya merupakan pemahaman dari Antropologi Pendidikan, termasuk di dalamnya peran pendidikan formal dan pendidikan informal. (Nasution, 2004).
Penulis berpendapat bahwa, penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal dapat dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. (Hasojo, 1984).

Penulis mengatakan bahwa, dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik dan sukar untuk dibandingkan. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Semakin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan. (Hasojo, 1984).

2.2. Manfaat Antropologi Dalam Pendidikan
Penulis mengatakan, setiap manusia memiliki perbedaan, oleh karena itu seorang pendidik harus sedikit banyak memahami latar belakang siswa, yakni keluarga, budaya, lingkungan siswa. Oleh karena itu, antropologi dibutuhkan sebagai landasan dalam pendidikan.
Antropologi dalam pendidikan memiliki beberapa manfaat diantaranya :
1. Dapat mengetahui pola perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat secara universal maupun pola perilaku manusia pada tiap-tiap masyarakat (suku bangsa).
2. Dapat mengetahui kedudukan serta peran yang harus kita lakukan sesuai dengan harapan warga masyarakat dari kedudukan yang kita sandang.
3. Dengan mempelajari antropologi akan memperluas wawasan kita terhadap tata pergaulan umat manusia diseluruh dunia, khususnya Indonesia yang mempunyai kekhususan-kekhususan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya, sehingga menimbulkan toleransi yang tinggi.
4. Dapat mengetahui berbagai macam problema dalam masyarakat serta memiliki kepekaan terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat, baik yang menyenangkan serta mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang muncul dalam lingkungan masyarakatnya. (Koentjaraningrat, 1990).

2.3. Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Pendidikan
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin ilmu, kini banyak dikembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan sosial budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan. (Hasojo, 1984).
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan sosial budaya dikategorikan menjadi empat orientasi, yaitu :
1.    Orientasi teoritik yang fokus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
2.    Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalannya.
3.    Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori datang dari rumpun teori struktural.
4.    Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala interdependensi antar Negara, dimana teori multikultural termasuk didalamnya. (Hasojo, 1984).
Penulis berpendapat bahwa, orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal.
Van Kemenade (1969) telah mengingatkan, “persoalan pendidikan jangan hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebijakan sosial, sehingga pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiris tentang tugas pendidikan  dalam konteks kehidupan masyarakat”. (Koentjaraningrat, 1990).

Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan, maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Penulis berpandangan bahwa, ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan, namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori, yaitu : Pertama, pendekatan teori antropologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan sosial budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat. (Koentjaraningrat, 1990).
Sedangkan pendekatan antropologi dalam pendidikan saat ini adalah sebagai berikut : (Nasution, 2004).
1. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 sesuai dengan kebutuhan siswa.
2. Model pembelajaran berbasis budaya lokal.
Model pembelajaran ini diterapkan melalui muatan lokal. Materi disesuaikan dengan potensi lokal masing-masing daerah di lingkungan sekolah. Sehingga siswa dapat mengenali potensi budayanya sendiri, mengembangkan budaya, menumbuhkan cinta tanah air, dan mempromosikan budaya lokal kepada daerah lain.
3. Metode pembelajaran karya wisata.
Guru mengajak siswa ke suatu tempat ( objek ) tertentu untuk mempelajari sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah. Metode karyawisata berguna bagi siswa untuk membantu mereka memahami kehidupan nyata dalam lingkungan beserta segala masalahnya. Misalnya, siswa diajak ke museum, kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau ke suatu tempat yang mengandung nilai sejarah atau kebudayaan tertentu. (Nasution, 2004).
4. Pendidikan kecakapan hidup yang diintegrasikan pada mata pelajaran.
Pengembangan kecakapan hidup terdiri dari: kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional (keterampilan untuk bekerja). (Nasution, 2004).
Adapun contoh pengintegrasian pendidikan kecakapan hidup dalam mata pelajaran, adalah sebagai berikut :
1.) Pendidikan Agama, tujuannya : membentuk siswa menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.) IPS, tujuannya : mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat.
3.) SBK, tujuannya : membentuk karakter peserta didik agar memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
4.) Muatan Lokal, tujuannya : membentuk pemahaman terhadap potensi sesuai dengan ciri khas di daerah tempat tinggalnya.
5.) Pengembangan diri, tujuannya : memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, minat, dan bakat.
5. Pembelajaran dengan Modelling
Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model (guru) sebagai obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian ditiru oleh siswa. Modelling bertujuan untuk mengembangkan keterampilan fisik dan mental siswa. (Nasution, 2004).

2.4. Implikasi Antropologi Dalam Pendidikan
Penulis mengungkapkan dari berbagai sumber, Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang dirangkai oleh selat, dan keadaan geogafisnya tidak merata. Faktor geografis suatu daerah sangat berpengaruh pada jaringan komunikasi dan transportasi antar daerah maupun pulau. Khususnya di daerah yang dikelilingi hutan belantara dan pegunungan yang tinggi, yang akan menghambat proses informasi, sehingga akan berpengaruh pada pengetahuan penduduk di sekitar.
Selain faktor geografisnya, di masing-masing daerah memiliki berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, sistem nilai, budaya yang berbeda. Misalnya : Suku Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Minang, Batak dan sebagainya. Sedangkan dari ras polynesia yang mendiami Indonesia bagian timur, misalnya : Ambon, Timor, Irian Jaya. Keragaman budaya tersebut telah memberikan pengaruh terhadap hubungan sosial masyarakat, sistem pendidikan, mata pencaharian, dan pola berfikir manusia.
Dengan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan secara alamiah, dari dulu telah berlangsung upaya pendidikan sebagai proses transmisi dan transformasi kebudayaan. Untuk itu, pendidikan di masing-masing daerah berbeda dan disesuaikan dengan budaya daerah tersebut. Proses pendidikan bangsa telah ada sebelum kedatangan penjajah dan memiliki antropologis yang kuat.
Kurikulum yang sudah diterapkan pada masing-masing daerah berdampak pada  perkembangan pengetahuan yang berbeda dan mempengaruhi kemajuan masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Masyarakat perkotaan, memberikan pendidikan anaknya mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Program pendidikan di sekolah terdiri dari : sekolah reguler, home schooling, akselerasi, dan sekolah berstandar internasional (RSBI). (Nasution, 2004).
Selain itu, di kota merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan, sehingga memungkinkan perkembangan pendidikan mudah dijangkau dan cepat. Berbeda dengan daerah pedesaan, melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi merupakan permasalahan. Hal ini dikarenakan tingkat ekonomi penduduk yang masih minim, kesadaran orang tua akan pendidikan masih kurang, akses lembaga pendidikan terbatas, dan angka migrasi tinggi. Hal ini menyebabkan angka anak drop out dari keluarga kurang mampu tersebut tinggi. (Nasution, 2004).
Melihat permasalahan tersebut, maka peranan pendidikan sangat penting khususnya penyusunan kurikulum oleh satuan pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan pendidikan nasional dan tercapainya tujuan pembelajaran. Salah satu kurikulum berbasis budaya lokal telah memberikan sumbangan untuk lebih mengenal potensi budaya di masing-masing daerah, sehingga peserta didik dapat mengenal potensi budayanya sendiri, dapat mengembangkan potensi budaya, serta dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya (berwirausaha). (Nasution, 2004).
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi antropologi, adalah sebagai berikut : (Koentjaraningrat, 1990).
1. Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat
Identifikasi kebutuhan masayarakat ini bersumber dari informasi masyarakat sekitar. Masyarakat tersebut terdiri dari tokoh masyarakat, baik secara formal maupun informal, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat kelas bawah. Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan data yang dijadikan bahan pengembangan kurikulum.
2. Keterlibatan partisipasi masyarakat
Setelah mengidentifikasi kebutuhan belajar, maka masyarakat ikut serta dalam merancang kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana, menentukan narasumber sebagai fasilitator, dan ikut menilai hasil belajar.
3. Pemberian pendidikan kecakapan hidup
Pendidikan kecakapan hidup merupakan pendidikan dalam bentuk pemberian keterampilan dan kemampuan dasar pendukung fungsional, membaca, menulis, berhitung, memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi. (Koentjaraningrat, 1990).

2.5. Pengaruh Antropologi Terhadap Lingkungan Dan Masyarakat
Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. (Koentjaraningrat, 1990).
Perbedaan geografis mencakup perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh faktor geografis seperti letak daerah, misalnya : pantai, daerah pegunungan, daerah tropis, daerah sub tropis, daerah subur, daerah tandus, dan sebagainya. (Nasution, 2004).
Sebagai contoh, pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan berbeda dengan daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia kurang atau tidak dapat bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga keadaan ini memaksa manusia daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan makanan untuk musim dingin. Demikian pula masyarakat di daerah gersang akan terpaksa bekerja lebih keras untuk mempertahankan hidupnya dibandingkan dengan daerah subur. (Nasution, 2004).
Perbedaan-perbedaan tersebut melahirkan pula perbedaan kebudayaan, baik dalam wujud ide-ide, pola, tingkah laku maupun kebudayaan. Di daerah subur seperti di Indonesia, dimana manusia tidak perlu berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dimana sumber-sumber alam relatif mudah diambil, membuat manusia juga bermurah hati terhadap sesamanya, sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang mengalami kekurangan, orang laain dapat dengan mudahnya membantu orang yang menderita tersebut. Karena itu terutama di pedesaan, dimana kebutuhan hidup dari alam sekitar relatif lebih mudah didapatkan, perasaan gotong-royong antar warga masyarakat sangat tinggi. Sebaliknya di daerah perkotaan dimana manusia harus berusaha lebih keras untuk mempertahankan hidupnya, maka perasaan gotong-royong itu makin menipis, dan perasaan individualitasnya lebih tinggi. (Nasution, 2004).
Penulis berpendapat, hal-hal tersebut diatas juga dapat mempengaruhi sistem nilai budaya yang dianut oleh warga masyarakat, yang dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap proses pendidikan yang berlangsung di masyarakat yang bersangkutan, karena proses pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan geografis dan sosiokultural masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Hasojo. (1984). Pengantar Antropologi. Bandung : Bina Cipta.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Nasution. (2004). Antropologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar